PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DERAJAT



PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DERAJAT
1.                       Pelapisan Sosial
1.1.                 Pengertian pelapisan sosial
Masyarakat terbentuk dari individu-individu. lndividu-individu yang terdiri dari berbagai latar belakang tentu akan membentuk suatu masyarakat heterogen yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Dengan adanya atau terjadinya kelompok sosial ini maka terbentuklah suatu pelapisan masyarakat atau terbentuklah masyarakat yang berstrata.

Menurut Pitirim A. Sorokin, pelapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis. Hal tersebut dapat kita ketahui adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah dalam masyarakat.
Menurut P.J. Bouman, pelapisan sosial adalah golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu.Oleh karena itu, mereka menuntut gengsi kemasyarakatan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kehidupan anggota masyarakatyang berada di kelas tinggi. Seseorang yang berada di kelas tinggi mempunyai hak-hak istimewa dibanding yang berada di kelas rendah.
Pelapisan sosial merupakan gejala yang bersifat universal. Kapan pun dan di dalam masyarakat mana pun, pelapisan sosial selalu ada.
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyebut bahwa selama dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka dengan sendirinya pelapisan sosial terjadi. Sesuatu yang dihargai dalam masyarakat bisa berupa harta kekayaan, ilmu pengetahuan, atau kekuasaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelapisan sosial adalah pembedaan antar warga dalam masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial secara bertingkat. Wujudnya adalah terdapat lapisan-lapisan di dalam masyarakat diantaranya ada kelas sosial tinggi, sedang dan rendah.[1]

1.2.                 Terjadinya pelapisan sosial
Pelapisan masyarakat adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarchis).
Pelapisan masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang relative permanen yang terdapat di dalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai ke masyarakat) di dalam hal pembedaan hak, pengaruh dan kekuasaan.
Masyarakat yang berstratifikasi sering dilukiskan sebagai suatu kerucut atau primida, di mana lapisan bawah adalah paling lebar dan lapisan ini menyempit ke atas.[1]

1.3.                 Perbedaan sistem pelapisan dalam masyarakat
Menurut sifatnya, sistem pelapisan dalam masyarakat dibedakan menjadi:
a.              Sistem pelapisan masyarakat yang tertutup
Dalam sistem ini, pemindahan anggota masyarakat kelapisan yang lain baik ke atas maupun ke bawah tidak mungkin terjadi, kecuali ada hal-hal istimewa. Di dalam sistem yang tertutup, untuk dapat masuk menjadi dari suatu lapisan dalam masyarakat adalah karena kelahiran.

b.              Sistem pelapisan masyarakat yang terbuka
Stratifikasi ini bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal.

c.              Sistem pelapisan sosial campuran
Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka.

1.4.                 Teori tentang pelapisan sosial
Pelapisan masyarakat dibagi menjadi beberapa kelas :
-                     Kelas atas (upper class)
-                     Kelas bawah (lower class)
-                     Kelas menengah (middle class)
-                     Kelas menengah ke bawah (lower middle class)
          
 Beberapa teori tentang pelapisan masyarakat dicantumkan di sini :
a.                  Aristoteles mengatakan bahwa di dalam tiap-tiap Negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat sekali, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya.
b.                  Prof. Dr. Selo Sumardjan dan Soelaiman Soemardi SH. MA. menyatakan bahwa selama di dalam masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai olehnya dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai.
c.                  Vilfredo Pareto menyatakan bahwa ada dua kelas yang senantiasa berbeda setiap waktu yaitu golongan Elite dan golongan Non Elite. Menurut dia pangkal dari pada perbedaan itu karena ada orang-orang yang memiliki kecakapan, watak, keahlian dan kapasitas yang berbeda-beda.
d.                 Gaotano Mosoa dalam “The Ruling Class” menyatakan bahwa di dalam seluruh masyarakat dari masyarakat yang kurang berkembang, sampai kepada masyarakat yang paling maju dan penuh kekuasaan dua kelas selalu muncul ialah kelas pertama (jumlahnya selalu sedikit) dan kelas kedua (jumlahnya lebih banyak).
e.                  Karl Mark menjelaskan terdapat dua macam di dalam setiap masyarakat yaitu kelas yang memiliki tanah dan alat-alat produksi lainnya dan kelas yang tidak mempunyainya dan hanya memiliki tenaga untuk disumbangkan di dalam proses produksi.
Dan dapat disimpulkan, masyarakat terbagi menjadi lapisan-lapisan sosial, yaitu :
a)       ukuran kekayaan
b)       ukuran kekuasaan
c)       ukuran kehormatan
d)      ukuran ilmu pengetahuan

1.5.                 Studi kasus Pelapisan Sosial

Lapisan Kehidupan di Liang Bua Kompas.com - 24/07/2012, 21:53 WIB
KOMPAS.com - Liang Bua, goa besar di Kecamatan Ruteng, Manggarai, Flores, ibarat buku yang mengisahkan tentang pelapisan kebudayaan di masa lalu yang dihancurkan oleh letusan gunung api. Lantai goa ini terdiri dari lapisan tufa atau endapan material vulkanik lembut yang terkonsolidasi. Tufa tersebut berasal dari hasil letusan gunung api, entah dari mana asalnya. Hingga kini, belum ada penelitian yang fokus mengungkap asal tufa tersebut. Thomas Sutikna dari Puslit Arkenas yakin bahwa Liang Bua bekali-kali tertimbun letusan gunung api. Lapisan paling tebal kebetulan menjadi pembatas antara temuan dunia modern dan dunia purba. Dunia modern di Liang Bua dibatasi usia hingga 10.000 tahun lalu. Sementara dunia purba yang mengindikasikan kehadiran manusia berusia paling tua hingga 95.000 tahun lalu. Dengan adanya lapisan tufa tebal ini, Thomas menduga manusia purba tak mungkin bertemu dalam satu masa dengan manusia modern. Tebal lapisan tufa 1-2 meter. Di atas tufa itu masih ada lapisan atas yang tebalnya hingga ke permukaan tanah 4-6 meter. Di lapisan atas, usianya paling tua dibatasi hingga 10.000 tahun. Di lapisan atas ini, ketika digali pertama kali, ditemukan pecahan tembikar dan kapak corong yang terbuat dari perunggu. Lapisan teratas ini diduga berumur 450 tahun yang sudah masuk masa sejarah, tetapi budayanya masih dianggap prasejarah. Di bawah tembikar yang berusia sekitar 4.000 tahun ditemukan kerangka manusia lengkap dengan bekal kuburnya berupa beliung, periuk, kendi, dan taring babi. Di lapisan ini, tahun 1965, ditemukan enam kerangka manusia oleh Verhoeven. Setelah itu, tahun 1978 juga ditemukan enam kerangka oleh tim Arkenas. Menurut Jatmiko dari Arkenas, dalam penggalian tahun 1998 kembali ditemukan dua kerangka manusia dengan alat kuburnya. Di bawah kerangka, masih di lapisan atas dalam rentang maksimal 10.000 tahun, kemudian ditemukan banyak tulang babi, rusa, kerbau atau sapi, dan monyet. ”Mereka termasuk fauna modern,” kata Thomas. Dalam stratigrafi situs Liang Bua yang dibuat tim Arkenas, jelas terlihat bahwa tufa tersebut seperti menutup sebuah zaman yang dihuni oleh manusia purba. Tepat di bawah tufa tebal tersebut, tepatnya enam meter dari permukaan tanah, pada tahun 2003, tim peneliti berhasil menemukan rangka Homo floresiensis. Homo floresiensis ini diperkirakan tinggal dalam rentang usia 18.000 tahun hingga maksimal 95.000 tahun silam. Di bawah kerangka Homo floresiensis ini kemudian ditemukan banyak tulang gajah purba kerdil yang terkonsentrasi bersama artefak batu. ”Diduga, alat batu tersebut digunakan manusia purba untuk menguliti stegodon,” kata Jatmiko. ”Stegodon yang ditemukan didominasi yang masih kecil atau remaja.” Dari segi peralatan, kata Jatmiko, manusia purba telah memanfaatkan sumber daya lokal berupa batu untuk berburu dan meramu makanan. Mereka memilih bahan batu itu bukan sembarangan. Mereka sangat cerdik dan hanya memilih batuan yang berkualitas tinggi. ”Contohnya mereka hanya pilih batuan chert dan kalsedon, bukan batuan andesit yang gampang rapuh,” katanya. Chert jika dipangkas akan memiliki sisi tajam yang seperti silet. Ini fungsinya untuk menguliti binatang seperti stegodon. ”Batuan tajam ini bisa berfungsi sebagai pisau untuk meraut kayu dan bambu,” tutur Jatmiko. Di lapisan yang usianya diperkirakan 18.000 hingga 38.000 tahun, ditemukan fosil komodo dan kura-kura raksasa [3].

2.                       Kesamaan Drajat
2.1.                 Kesamaan drajat
Setiap warganegara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam memperoleh kehidupan. Manusia dengan lingkungan memiliki hubungan timbal balik artinya masing-masing memiliki hak dan kewajiban sama besarnya. Setiap warga negara khususnya Indonesia dijamin kebebasannya dalam memperoleh hak dan melaksanakan kewajibannya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

2.2.                 Pasal-pasal  didalam UUD 45 tentang persamaan Hak
Ada empat pasal yang memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yakni pasal 27,28,29 dan 31.
Pasal 27 ayat 1; Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan tanpa kecuali.
Pasal 27 Ayat 2; hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28 ; kemerdekaan berserikat dan berkumpul , mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh Undang-Undang.
Pasal 29 ayat 2 ; Kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk yang dijamin oleh negara.
Pasal 31 (1) : tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran
Pasal 31 (2) : pemerintah mengusahakan dan menyelnggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-Undang. [2]

2.3.                 4 pokok hak Asasi dalam 4 pasal yang tercantum pada UUD 45
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa sejak lahir, maka tidak seorang pun dapat mengambilnya atau melanggarnya. Kita harus menghargai anugerah ini dengan tidak membedakan manusia berdasarkan latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin, pekerjaan, budaya, dan lain-lain. Namun perlu diingat bahwa dengan hak asasi manusia bukan berarti dapat berbuat semena-mena, karena manusia juga harus menghormati hak asasi manusia lainnya.
Ada 4 hak asasi manusia yang paling fundamental (pokok), yaitu :
a. Hak Hidup (life)
b. Hak Kebebasan (liberty)
c. Hak Memiliki (property)
d. Hak kesamaan kedudukan

2.4.                 Studi kasus kesamaan drajat
Mereka yang Buta Hukum akan Jadi Bulan-Bulanan
KIKI BUDI HARTAWAN Kompas.com - 14/06/2012, 15:05 WIB JAKARTA.

KOMPAS.com - Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, mengatakan, masih ada perbedaan penanganan kasus hukum di Indonesia. Perbedaan itu, menurut Azhar, terbagi dalam tiga strata, yakni strata elit, strata menegah dan strata rendah. "Strata rendah itu, mereka yang tak paham hukum, buta informasi dan tidak tahu bagaimana mencari pengacara secara gratis. Strata ini akan selalu jadi bulan-bulanan polisi, karena didominasi oleh masyarakat kecil," ungkap Haris Azhar, di Kantor Kontras, Jalan Borobudur No.14, Jakarta Pusat, Kamis (14/6/2014). "Strata menegah, mereka yang punya informasi, ada sedikit kenalan polisi, dan punya uang. Polisi sedikit hati-hati untuk menanganinya," ungkap Azhar. "Yang terakhir yang menarik perhatian adalah strata elit. ini adalah mereka yang punya uang banyak, kenal banyak pejabat maupun polisi, banyak informasi, dan bisa menyuap. Untuk strata ini hanya formalitas saja proses hukumnya. Ujung-ujungnya lepas juga," paparnya. Adanya tingkatan dalam penanganan penegakan hukum seperti ini, sangat disanyangkan sekali, kata Azhar, karena Indonesia adalah negara hukum. Seharusnya, menurut dia, semua lapisan masyarakat mempunyai kesamaan derajat dalam masalah hukum. "Hal ini sudah semestinya terjadi. Di dalam hukum tidak mengenal strata, ras ataupun suku. Semuanya sama apabila mereka melanggar hukum maka akan diproses dengan aturan hukum yang sama. Tidak ada perbedaan dalam memproses hal itu. Inilah bukti bahwa keadilan di Indonesia belum dapat dilaksanakan seadil-adilnya," kata Azhar. [4]


3.                       Elite dan Massa
3.1.                 Pengertian Elite
Dalam pengertian umum elite menunjukkan sekelompok orang yang dalam masyarakat menempati kedudukan tinggi. Dalam arti lebih khusus lagi elite adalah sekelompok orang terkemuka di bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan  kecil yang memegang kekuasaan. Dalam cara pemakaiannya yang lebih umum elite dimaksudkan : “posisi di dalam masyarakat di puncak struktur struktur sosial yang terpenting, yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi, pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran, dan pekerjaan-pekerjaan dinas.” Tipe masyarakat dan sifat kebudayaan sangat menentukan watak elite. Dalam masyarakat industri watak elitnya berbeda sama sekali dengan elite di dalam masyarakat primitive.

3.2.                 Fungsi elite dalam memegang strategi
Dalam suatu kehidupan sosial yang teratur, baik dalam konteks luas maupun yang lebih sempit selalu ada kecenderungan untuk menyisihkan satu golongan tersendiri sebagai satu golongan yang penting, memiliki kekuasaan dan mendapatkan kedudukan yang terkemuka jika dibandingkan dengan massa. Penentuan golongan minoritas ini didasarkan pada penghargaan masyarakat terhadap berbagai peranan yang dilancarkan dalam kehidupan masa kini serta meletakkan,dasar-dasar kehidupan yang akan datang. Golongan minoritas yang berada pada posisi atas secara fungsional dapat berkuasa dan menentukan dalam studi sosial dikenal dengan elite.

3.3.                 Pengertian massa
Istilah massa dipergunakan untuk menunjukkan suatu pengelompokkan kolektif lain yang elementer dan spotnan, yang dalam beberapa hal menyerupai crowd, tetapi yang secara fundamental berbeda dengannyadalam hal-hal yang lain. Massa diwakili oleh orang-orang yang berperanserta dalam perilaku missal seperti mereka yang terbangkitkan minatnya oeleh beberap peristiwa nasional, mereka yang menyebar di berbagai tempat, mereka yang tertarik pada suatu peristiwa pembunuhan sebgai dibertakan dalam pers atau mereka yang berperanserta dalam suatu migrasi dalam arti luas.

3.4.                 Ciri-ciri masa
Beberapa hal penting yang merupakan sebagian ciri-ciri membedakan di dalam massa, yaitu:
a.         Keanggotaannya berasal dari semua lapisan masyarakat atau strata sosial, meliputi orang-orang dari berbagai posisi kelas yang berbeda, dari jabatan kecakapan, tingkat kemakamuran atau kebudayaan yang berbeda-beda.
b.        Massa merupakan kelompok yang anonim, atau lebih tepat, tersusun dari individu-individu yang anonim.
c.         Sedikit sekali interaksi atau bertukar pengalaman antara anggota-anggotanya.

3.5.                 Studi kasus elite dan massa
Provokasi Elite Politik Dinilai jadi Penyebab Intoleransi di Level Warga

DEVINA HALIM Kompas.com - 20/08/2018, 15:21 WIB Direktur Setara Institute Halili saat menjabarkan laporan tengah tahun terkait kebebasan beragama/berkeyakinan di kantor Setara Institute, Jakarta, Senin (20/8/2018). (KOMPAS.com/Devina Halim) JAKARTA, KOMPAS.com - Laporan Setara Institute per Juni 2018 menunjukkan, jumlah pelanggaran terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) yang dilakukan oleh aktor non-negara jauh lebih banyak dibanding aktor negara. Dari 136 tindakan pelanggaran, sebanyak 96 tindakan lainnya dilakukan oleh aktor non-negara, seperti individu atau kelompok warga. Sementara itu, 40 tindakan lainnya dilakukan oleh penyelenggara negara. Baca juga: Setara Institute: Pelanggaran Kebebasan Beragama Terbanyak Ada di Jakarta Direktur Setara Institute Halili menjelaskan, perbedaan jumlah tersebut memperlihatkan keprihatinan terkait isu KBB di level masyarakat. "Saya kira hampir tidak pernah kita mendapati tindakan aktor non-negara sampai dua kali lipat (dari aktor negara). Kalau lebih besar pernah terjadi, tapi sampai dua kali lipat itu hampir tidak pernah," tutur Halili di kantor Setara Institute, Jakarta, Senin (20/8/2018). "Artinya api pada isu KBB sesungguhnya terletak di warga," imbuh dia. Halili menjelaskan bahwa penyebabnya adalah provokasi dari elite politik. Baca juga: Setara Institute Ingatkan Hulu Terorisme adalah Intoleransi Akibatnya, masyarakat terpancing untuk melakukan tindakan yang melanggar kebebasan beragama/berkeyakinan kelompok tertentu. "Intoleransi itu ada di level warga, jadi lower layer ya, tapi yang menurut saya mengkhawatirkan adalah di level elite politik," jelas Halili. "Kasus, misalnya, tanda petik ya, Abu Janda versus Amien Rais, ini menstimulasi banyak kasus atau tindakan lanjutan," imbuh dia. Baca juga: Sikap Intoleransi itu Bibit Radikalisme dan Terorisme... Oleh sebab itu, Setara Institute mendesak pemerintah untuk mengatasi variabel kunci yang mengancam KBB. Variabel tersebut terdiri dari, rendahnya jaminan politik-yuridis atas hak untuk beragama/berkeyakinan, tidak adil dan tegasnya penegakan hukum, serta kurangnya toleransi dan kesadaran untuk menghormati KBB sebagai sebuah hak asasi. "(Pemerintah perlu) memastikan bahwa variabel-variabel kunci yang menjadi penyebab terjadinya berbagai pelanggaran KBB itu betul diatasi," tegas Halili. Baca juga: Jokowi Undang 42 Tokoh, Bicarakan Intoleransi, Ketimpangan Ekonomi hingga Radikalisme "Kalau itu dalam bentuk perundang-undangan itu dapat direvisi dan diakui segera, agar api yang ada di dalam warga ini tidak merusak, kemudian membakar rumah Indonesia," lanjut dia.[5]

4.                       Pembagian Pendapatan
4.1.                 Komponen pendapatan
Komponen Pendapatan Nasional
a.                   Produk Domestik Bruto/Gross Domestic Product (PDB/GDP)
b.                  Produk Nasional Bruto/Gross National Produxt (PNB/GNP)
c.                   Produk Nasional Neto/Net National Product (PNN/NNP)
d.                  Pendapatan Nasional/Neto Net National (PN/NNI)
e.                   Pendapatan Personal/Personal Income (PP/PI)

4.2.                 Perhitungan pendapatan
a.       GROSS DOMESTIC PRODUCT (GDP) atau PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB)

Merupakan jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara selama setahun. Termasuk yang dihasilkan oleh perusahaan asing, asalkan wilayahnya masih dalam wilayah suatu negara.
Rumus untuk menghitung GDP yaitu
GDP =  Pendapatan WNI didalam Negeri + Pendapatan WNI didalam Negeri

b.       GROSS NATIONAL PRODUCT (GNP) atau PRODUK NASIONAL BRUTO (PNB)

Merupakan nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun, termasuk yang dihasilkan oleh warga negara tersebut yang dihasilkan di luar negeri.

Jika ditulis dalam rumus bisa tulis seperti berikut.
Rumus GNP =  Pendapatan WNI didalam Negeri + Pendapatan WNI diluar Negeri

4.3.                 Distribusi pendapatan
Distribusi pendapatan nasional adalah mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negaradi kalangan penduduknya (Dumairy, 1999).
Distribusi pendapatan mencerminkan ketimpangan atau meratanya hasil pembangunan suatu daerah atau negara baik yang diterima masing-masing orang ataupun dari kepemilikan faktor-faktor produksi dikalangan penduduknya

4.4.                 Studi kasus pembagian pendapatan
Kesepakatan Freeport, Patut Disyukuri atau Disesali?

Perjanjian awal soal Freeport ditandatangani pekan lalu. Kontroversi merebak. Transaksi ini merugikan atau menguntungkan negara?
Kesepakatan awal antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Freeport McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto.
Perjanjian pendahuluan berbentuk Head of Agreement (HoA) itu ditandatangi pada Kamis (12/7) lalu. Sesuai kesepakatan, total kepemilikan Inalum di PT Freeport Indonesia (PTFI) nantinya mencapai 51 persen. Dengan begitu, kepemilikan nasional di perusahaan tambang emas ini meningkat 5,5 kali lipat dari saat ini yang hanya 9,36 persen.
Tambahan kepemilikan itu tentu tak gratis. Inalum harus mengeluarkan dana US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp 54 triliun. Sebesar US$ 3,5 miliar untuk membeli hak partisipasi (participating interest) Rio Tinto di PTFI. Sisanya US$ 350 juta untuk membeli seluruh saham FCX di PT Indocopper Investama, pemilik 9,36 persen saham PTFI.
Perjanjian jual-beli diharapkan rampung seluruhnya sebelum akhir tahun ini. Namun, perdebatan telanjur merebak. Sejumlah isu dipersoalkan. Waktu pembelian, keuntungan yang didapat, harga yang harus dibayarkan,
Untung atau buntung?
Hal lain yang perlu dijadikan bahan pertimbangan, pengoperasian tambang terbuka (open pit) di Grasberg yang selama ini dijalankan Freeport sudah akan berakhir tahun depan. Penambangan akan berpindah ke tambang bawah tanah (underground mining).
Untuk mendukung masa transisi ini hingga 2022, dana investasi yang dibutuhkan tak kecil. Sekitar US$ 5 miliar. Persoalannya, jika tak kunjung ada kepastian perpanjangan kontrak, apalagi jika berujung sengketa di arbitrase, maka investasi ini tersendat.
Dampaknya proyek terancam mangkrak. Area tambang bawah tanah ini pun terancam longsor. Dan jika ini terjadi, biayanya akan sangat mahal. Dengan kata lain, ada faktor keterdesakan waktu.
Perlu juga dicatat, metode penambangan tertutup dengan block caving di Grasberg ini merupakan yang terumit dan tersulit di dunia. Itu sebabnya, meski nantinya Indonesia menguasai 51 persen saham PTFI, pengoperasian tambang akan tetap di tangan FCX.
Bagi kepentingan nasional, keberlanjutan tambang Freeport memang terbilang penting. Kontribusinya cukup signifikan secara ekonomi.
Studi LPEM-UI pada 2015 menyebutkan, sekitar 94 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Mimika dan 34 persen PDRB Provinsi Papua bersumber dari Freeport. Selain itu, menciptakan 230 ribu lapangan kerja.
Sumbangannya bagi perekonomian nasional pun tak kecil. Dalam kurun 1992-2015 tercatat penerimaan negara melalui setoran pajak, royalti dan dividen dari Freeport mencapai US$ 16,1 miliar (60 persen). Sedangkan sisanya dinikmati FCX senilai US$ 10,8 miliar (40 persen).
Dengan dioperasikannya tambang bawah tanah, diperkirakan potensi penerimaan negara akan kian besar. Nilainya ditaksir mencapai US$ 42 miliar atau sekitar Rp 588 triliun selama kurun 2022-2041.

Sebaliknya, jika operasi tambang ini terhenti, setidaknya potensi pajak, royalti dan dividen yang hilang, diperkirakan lebih dari US$ 700 juta atau hampir Rp 10 triliun per tahun. Ini yang disebut dengan opportunity loss.
Padahal, tak lama lagi, pada 2030 negeri ini akan segera menghadapi puncak bonus demografi, yang ditandai dengan ledakan penduduk usia produktif. Kue pembangunan yang bisa dibagi harus kian besar. Jika tidak, pengangguran merajalela.
Terkait soal ini, lagi-lagi ada pengalaman pahit yang patut jadi pelajaran. Pada 2001, pemerintah kehilangan kesempatan menguasai Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu tambang batu-bara terbesar di dunia yang berlokasi di Kalimantan Timur.
Saat itu, pemerintah kalah gesit oleh Grup Bakrie yang membeli KPC melalui anak usahanya, PT Bumi Resources Tbk. Bakrie berhasil “menyalip di tikungan” ketika kesabaran Rio Tinto Ltd. dan BP International Ltd. habis, lantaran tak kunjung mencapai kata sepakat jual-beli dengan pemerintah.
Kedua raksasa tambang dunia ini lantas memilih menjual dua induk perusahaan KPC (Sangatta Holdings Ltd. dan Kalimantan Coal Ltd.) kepada Bumi. Padahal, nilai jualnya amat rendah, cuma US$ 500 juta. Jauh di bawah tawaran harga pemerintah US$ 822 juta.
Tak lama kemudian, Bakrie menikmati “gurihnya” batu-bara, ketika harganya melonjak drastis di pasar dunia. Tak hanya lepas dari keterpurukan krisis 1998, lewat transaksi ini Grup Bakrie kembali berjaya di blantika bisnis nasional. Sementara, pemerintah gigit jari.
Dari berbagai faktor itu, selayaknya kesepakatan awal dari jalan panjang negosiasi Freeport ini patut disyukuri. Meski, tak perlu juga disambut dengan gegap-gempita berlebihan, karena proses transaksi belum final.
Yang lebih penting, bagaimana mengawal agar proses megatransaksi ini bersih dari segala praktik korupsi. Juga menjaga agar kepemilikan mayoritas di Freeport ini nantinya bisa memberikan manfaat lebih besar bagi Indonesia. Termasuk porsi 10 persen saham yang sudah dijanjikan bagi rakyat Papua.[6]
Daftar Pustaka
[1]   Harwantiyoko, Neltje F. Katuuk, MKDU Ilmu Sosial Dasar, Gunadarma, Jakarta, 1997.
[2]  Undang-Undang Dasar 1945
[6]     https://katadata.co.id/opini/2018/07/19 Metta Dharmasaputra  19 Juli 2018.


Komentar