MASYARAKAT PEDESAAN DAN MASYARAKAT PERKOTAAN
MASYARAKAT
PEDESAAN DAN MASYARAKAT PERKOTAAN
1.
Masyaraka
Perkotaan, Aspek-aspek Positif dan negatif
1.1.
Menjelaskan
Pengertian Masyrakat
Berikut di bawah ini
adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia.
1. Menurut Selo
Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan
kebudayaan.
2. Menurut Karl Marx
masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi
atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang
terbagi secara ekonomi.
3. Menurut Emile
Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang
merupakan anggotanya.
4. Menurut Paul B.
Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif
mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu
wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar
kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut. [1].
1.2.
Syarat-syarat
Menjadi Masyarakat
Masyarakat harus mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut [1]:
·
Harus ada pengumpulan manusia, dan harus
banyak, bukan pengumpulan binatang:
·
Telah bertempat tinggal dalam waktu yang
lama di suatu daerah tertentu;
·
Adanya aturan-aturan atau undang-undang
yang mengatur mereka untuk menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.
1.3.
Pengertian
Masyarakat Kota dan ciri-cirinya
Masyarakat perkotaan
sering disebut urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan
pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan
masyarakat pedesaan. Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu
:
1. Kehidupan keagamaan
berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.
2. Orang kota pada
umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung padaorang lain.
Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu.
3. Pembagian kerja di
antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
4.
Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh
warga kota dari pada warga desa.
5. Interaksi yang
terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan dari pada
faktor pribadi.
6. Pembagian waktu yang
lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu.
7. Perubahan-perubahan
sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam
menerima pengaruh dari luar.[3]
1.4.
Menyebutkan
2 tipe masyarakat
Dipandang dari cara terbentuknya,
masyarakat dapat dibagi dalam: [1]
1.
Masyarakat paksaan, misalnya : negara,
masyarakat tawanan dan lain lain.
2.
Masyarakat merdeka, yang terbagi dalam
a)
Masyarakat natur, yaitu masyarakat yang
terjadi dengan sendirinya, seperti gerombolan (horde), suku (stam), yang
bertalian karena hubungan darah atau keturunan.
b)
Masyarakat kultur, yaitu masyarakat yang
terjadi karena kepentingan keduniaan atau kepercayaan, misalnya: koperasi,
kongsi perekonomian dan sebagainya.
1.5.
Perbedaan
antara Desa dan Kota
Dalam masyarakat
modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan
masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), perbedaan
tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat
sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa,
pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan
masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual. [3]
Kita dapat membedakan
antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya
karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan
fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda,
bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan” pula. Perbedaan ciri antara kedua
sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai
berikut:
Masyarakat
Pedesaan
1).Perilaku homogen
2).Perilaku yang
dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
3).Perilaku yang
berorientasi pada tradisi dan status .
4).Isolasi sosial,
sehingga statik
5).Kesatuan dan
keutuhan kultural
6).Banyak ritual dan
nilai-nilai sakral
7). Kolektivisme
Masyarakat Kota:
1). Perilaku heterogen
2).Perilaku yang
dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan 3).Perilaku yang berorientasi
pada rasionalitas dan fungsi
4).Mobilitassosial,sehingga
dinamik
5).Kebauran dan
diversifikasi kultural
6).Birokrasi fungsional
dan nilai-nilaisekular
7).Individualisme
Warga suatu masyarakat
pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang
hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan
biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994).
Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di
desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem kekerabatan dan
kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat
pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang
kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan
penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya
merupakan pekerjaan sambilan saja .
Golongan orang-orang
tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan
selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang
dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan
kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan,
lurah dan sebagainya.
2.
Hubungan
Desa dan Kota
2.1.
Menjelaskan
Hubungan Desa dan Kota
Masyarakat pedesaan dan
perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah sama sekali satu sama lain.
Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat.
Bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota
tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan
seperti beras sayur mayur, daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga
kasar bagi bagi jenis jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh
bangunan dalam proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan
raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja
musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan
dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka
merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.
“Interface”, dapat
diartikan adanya kawasan perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan
perdesaan, nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat
transportasi, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan
dan lain sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan
kekotaan.
Hubungan kota-desa
cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam
hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin
menentukan kehidupan perdesaan.
Secara teoristik, kota
merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa cara, seperti:
i.
Ekspansi kota ke desa, atau boleh
dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan
perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan
yang beraneka ragam;
ii.
Invasi kota , pembangunan kota baru
seperti misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan
menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti
dengan perkotaan;
iii.
Penetrasi kota ke desa, masuknya produk,
prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak
terjadi;
iv.
ko-operasi kota-desa, pada umumnya
berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat
hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak danorang kota. Proses
sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai
permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam
kehidupan dunia yang memang akan mengkota.
Salah satu bentuk
hubungan antara kota dan desa adalah dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan
Kota yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka timbulah
masalah baru yakni ; Urbanisasi yaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari
desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses
terjadinya masyarakat perkotaan. (soekanto,1969:123 ). [3]
3.
Aspek
Positif dan Negatif
3.1.
Menjelaskan
tentang aspek positif dan aspek negatif
a.
Bertambahnya penduduk sehingga tidak
seimbang dengan persediaan lahan pertanian,
b.
Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh
produk industri modern.
c.
Penduduk desa, terutama kaum muda,
merasa tertekan oleh oleh adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu
cara hidup yang monoton.
d.
Didesa tidak banyak kesempatan untuk
menambah ilmu pengetahuan.
e.
Kegagalan panen yang disebabkan oleh
berbagai hal, seperti banjir, serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga
memaksa penduduk desa untuk mencari penghidupan lain dikota.
[3]
Hal – hal yang termasuk pull factor
antara lain :
a.
Penduduk desa kebanyakan beranggapan
bahwa dikota banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan
b.
Dikota lebih banyak kesempatan untuk
mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industri kerajinan.
c.
Pendidikan terutama pendidikan lanjutan,
lebih banyak dikota dan lebih mudah didapat.
d.
Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan
yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur
manusianya.
e.
Kota memberi kesempatan untuk
menghindarkan diri dari kontrol sosial yang ketat atau untuk mengangkat diri
dari posisi sosial yang rendah ( Soekanti, 1969 : 124-125 )..
3.2.
Menyebutkan
5 unsur lingkungan perkotaan
Secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan
perkotaan, mengandung 5 unsur yang meliputi : [1]
a)
Wisma
b)
Karya
c)
Marga
d)
Suka
e)
Penyempurnaaan
3.3.
Fungsi
External Kota
Kota mempunyai juga
peran/fungsi esternal, yakni seberapa jauh fungsi dan peran kota tersebut dalam
kerangka wilayah dan daerah daerah yang dilingkupi dan melingkupinya, baik
dalam skala regional maupun nasional. Dengan pengertian ini diharapkan bahwa
suatu pengembangan kota tidak mengarah pada satu organ tersendiri yang terpisah
dengan daerah sekitarnya, karena keduanya saling pengaruh-mempengaruhi
4.
Masyarakat
Pedesaan
4.1.
Pengertian
Desa
Yang dimaksud dengan
desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai berikut: Desa adalah
suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan
tersendiri.
Menurut Bintaro, desa
merupakan perwujudan atau kesatuan geografi ,sosial, ekonomi, politik dan
kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan
pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. [2]
4.2.
CIRI-CIRI
: UNSUR UNSUR DAN FUNGSI DARI DESA
Ciri-ciri masyarakat pedesaan antara
lain sebagai berikut :
a)
Di dalam masyarakat pedesaan di antara
warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan
dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya;
b)
Sistem kehidupan umumnya berkelompok
dengan dasar kekeluargaan (Gemeinschaft atau paguyuban).
c)
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan
hidup dari pertanian.
d)
Masyarakat tersebut homogen, seperti
dalam hal mata pencarian, agama, adat-istiadat dan sebagainya.
4.3.
MACAM-MACAM
PEKERJAAN GOTONG ROYONG
a.
Kerja bersama untuk pekerjaan-pekerjaan
yang timbulnya dari inisiatif warga masyarakat itu sendiri (biasanya
diistilahkan dari bawah).
b.
Kerjasama untuk pekerjaan-pekerjaan yang
inisiatifnya tidak timbul dari masyarakat itu sendiri berasal dari luar
(biasanya berasal dari atas).
4.4.
SIFAT,
HAKIKAT DAN GEJALA GEJALA MASYARAKAT PEDESAAN
Masyarakat Indonesia lebih
dari 80% tinggal di pedesaan dengan mata pencarian yang bersifat agraris.
Masyarakat pedesaan yang agraris biasanya dipandang antara sepintas kilas
dinilai oleh orang-orang kota sebagai masyarakat tentang damai, harmonis yaitu
masyarakat yang adem ayem, sehingga oleh orang kota dianggap sebagai tempat
untuk melepaskan Ielah dari segala kesibukan, keramaian dan keruwetan atau
kekusutan pikir.
Maka tidak jarang orang kota melepaskan
segala kelelahan dan kekusutan pikir tersebut pergilah mereka ke luar kota,
karena merupakan tempat yang adem ayem, penuh ketenangan.
4.5.
SISTEM
BUDAYA PETANI INDONESIA
Sistem nilai budaya
petani Indonesia antara lain sebagai berikut :
a.
Para petani di Indonesia terutama di
Jawa pada dasarnya menganggap bahwa hidupnya itu sebagai sesuatu hal yang
buruk, penuh dosa, kesengsaraan. Tetapi itu tidak berarti bahwa ia harus
menghindari hidup yang nyata dan menghindarkan diri dengan bersembunyi di dalam
kebatinan atau dengan bertapa, bahkan sebaliknya wajib menyadari keburukan
hidup itu dengan jelas berlaku prihatin dan kemudian sebaik-baiknya dengan
penuh usaha atau ikhtiar.
b.
Mereka beranggapan bahwa orang bekerja
itu untuk hidup, dan kadangkadang untuk mencapai kedudukannya.
c.
Mereka berorientasi pada masa ini
(sekarang), kurang memperdulikan masa depan, mereka kurang mampu untuk itu.
Bahkan kadang-kadang ia rindu masa lampau, mengenang kekayaan masa lampau
(menanti datangnya kembali sang ratu adil yang membawa kekayaan bagi mereka).
d.
Mereka menganggap alam tidak menakutkan
bila ada bencana alam atau bencana lain itu hanya merupakan sesuatu yang harus
wajib diterima kurang adanya agar peristiwa-peristiwa macam itu tidak berulang
kembali. Mereka cukup saja dengan menyesuaikan diri dengan alam, kurang adanya
usaha untuk menguasainya.
e.
Dan untuk menghadapi alam mereka cukup
dengan hidup bergotongroyong,mereka sadar bahwa dalam hidup itu pada hakikatnya
tergantung kepada sesamanya.
5.
Perbedaan
Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan
5.1.
Menyebutkan
Perbedaan Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan
Dalam masyarakat
modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan
masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), per-bedaan
tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat
sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa,
pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan
masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual. [2]
Kita dapat membedakan
antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya
karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan
fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda,
bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan” pula. Perbedaan ciri antara kedua
sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai
berikut:
Warga suatu masyarakat
pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang
hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan
biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994).
Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di
desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem kekerabatan dan
kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat
pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang
kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan
penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya
merupakan pekerjaan sambilan saja.
Golongan orang-orang
tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan
selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang
dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan
kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan,
lurah dan sebagainya.
Ada beberapa ciri yang
dapat dipergunakan sebagai petunjuk
untuk membedakan antara desa dan kota. Dengan melihat perbedaan perbedaan yang
ada mudah mudahan akan dapat mengurangi kesulitan dalam menentukan apakah suatu
masyarakat dapat disebut sebagi masyarakat pedeasaan atau masyarakat perkotaan.
Ciri ciri tersebut
antara lain :
·
jumlah dan kepadatan penduduk
·
lingkungan hidup
·
mata pencaharian
·
corak kehidupan sosial
·
stratifiksi sosial
·
mobilitas sosial
·
pola interaksi sosial
·
solidaritas sosial
·
kedudukan dalam hierarki sistem
administrasi nasional
STUDY KASUS
Pertanian
Kian Meninggalkan Petani Kecil Kompas.com - 04/08/2010, 03:30 WIB HERMAS E
PRABOWO Harian Kompas bersama aliansi NGO yang tergabung dalam Masyarakat
Peduli Pangan Nusantara dan Lead Associate Cohort 14 menyelenggarakan diskusi
bertema ”Masa Depan Petani dan Pertanian Indonesia” pada 13 Juli 2010 dengan
studi kasus Kabupaten Merauke, Papua. Pembicara dalam diskusi tersebut adalah
Arya Hadi Dharmawan (ahli ekologi politik dan sosiologi pedesaan Institut
Pertanian Bogor), Witoro (MPPN), Joseph Rinto (Sekretaris Daerah Kabupaten
Merauke), dan P Dicky H Joseph Ogi (Direktur Sekretariat Keadilan dan
Perdamaian Keuskupan Agung Merauke) dengan moderator Indro Surono dari Cohort
14. Berikut hasil dari diskusi tersebut. Peta politik global terkait isu pemenuhan
pangan, pakan, dan energi makin menunjukkan wajah aslinya. Pengembangan pangan
secara luas dengan melibatkan korporasi dianggap sebagai solusi. Indonesia juga
mengikuti langkah itu dengan merintis pengembangan pertanian pangan dan energi
skala luas dan terintegrasi di Merauke, Papua (MIFEE). Pengembangan usaha skala
mikro atau dalam bentuk uji coba oleh para investor dilakukan sejak tahun 2008
antara lain oleh Medco Group, PT Bangun Tjipta Sarana, dan Grup Artha Graha.
Ada 24 perusahaan yang tertarik menanamkan modal dalam pengembangan pertanian
pangan dan energi di Merauke. Bidang investasi yang dipilih adalah perkebunan
(tebu dan sawit), tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, sorgum), serta
peternakan. Data Pemerintah Kabupaten Merauke menunjukkan, luas lahan untuk
investasi 2,823 juta hektar. Lahan yang berizin lokasi 670.659 hektar. Dengan
MIFEE, Merauke dijadikan basis produksi pangan nasional di Indonesia bagian
timur. Joseph menyatakan, di sana akan dibangun industri pertanian terintegrasi
dan dikembangkan pertanian modern. Dengan sistem itu, diharapkan harga
komoditas pangan dan energi yang dihasilkan bisa menjadi lebih murah sehingga
mampu bersaing di pasar global. Di hulu, dibangun industri pembibitan untuk
menjamin pasokan bibit kualitas terbaik. Pemerintah akan mengembangkan badan
usaha milik daerah atau badan usaha milik petani yang memberikan jaminan pasar
dan harga. Infrastruktur jalan dan pelabuhan dibangun. Begitu pula jembatan,
irigasi, pabrik pupuk organik, gudang, sarana pascapanen, terminal agropolitan,
dan pabrik pengolahan hasil. Pengembangan usaha agribisnis pedesaan, program
Kementerian Pertanian, pun hadir. Tahun 2012 direncanakan mulai penanaman lahan
pengembangan, pembangunan kawasan industri, pengembangan kawasan ternak, pengembangan
perikanan darat, penataan permukiman, dan pembangunan bengkel serta gudang alat
produksi pertanian. Bila segalanya berjalan baik, ekspor perdana komoditas
pertanian dari Merauke bisa dilakukan tahun 2014. MIFEE juga akan menjadi
kawasan agrowisata terpadu. Lantas, di mana peran masyarakat lokal dan petani
kecil bila korporasi masuk ke budidaya pertanian? ”Kota pulau” Menurut Arya,
tak bisa dimungkiri, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pusing
tujuh keliling memenuhi kebutuhan pangan 240 juta orang. Di sisi lain, lahan
pertanian menyusut, terutama di sentra produksi pangan di Jawa. Tahun 2040-2050
diperkirakan Jawa akan berubah menjadi seperti Singapura saat ini. Jawa menjadi
”kota pulau” yang seluruh permukaannya disesaki manusia. ”Ini berkah atau
bencana,” tanya Arya. Bagi industri jasa barangkali berkah. Namun, bagi
pertanian, terutama dalam konteks penyediaan pangan, ini bencana. Pada masa
datang, Indonesia tak mungkin menjadikan impor pangan sebagai jalan keluar
untuk mengatasi masalah pangan karena negara lain juga menghadapi isu serupa.
Lalu, di mana posisi Merauke? Merauke adalah salah satu kawasan potensial untuk
produksi pangan. Namun, pengembangan MIFEE yang ”ceroboh” menciptakan masalah
serius. Bila Papua dijadikan sebagai solusi, ceritanya bakal tak jauh beda
dengan Kalimantan. Laju deforestasi akan tinggi dan krisis ekologi bakal
menghadang. Selain krisis ekologi, bencana yang tak kalah mengerikan adalah
ancaman krisis identitas kebudayaan. Menyitir pendapat Prof Emil Salim, persoalan
yang melanda Papua bukan masalah ekonomi, tapi masalah populasi penduduk di
sana, yang sekarang banyak ”berambut lurus”. Tahun 1960 populasi ”rambut lurus”
di Papua 3 persen, kini 53 persen. ”Kita boleh berempati dengan mereka.
Bagaimana bila tiba-tiba di Indonesia dipenuhi warga bule, apakah kita merasa
nyaman?” tanya Emil. Bagi masyarakat Papua, timbul sentimen etnisitas.
Kekhawatiran bahwa seiring dengan MIFEE, yang menggunakan teknologi modern,
banyak pekerja dari luar Papua akan didatangkan. Tentu ini akan menambah parah
krisis identitas kebudayaan warga Merauke. Persoalan lain adalah krisis
agraria. Dalam budaya Papua, tanah dikaitkan dengan dimensi adat. Dengan MIFEE,
akses masyarakat adat Papua atas lahan akan berkurang sehingga yang terjadi di
Papua saat ini adalah ekonomi versus ekologi dan ekonomi versus identitas.
”Kalau pemerintah membawa food estate di Merauke, artinya menghadapkan ekonomi
korporasi berteknologi tinggi dengan populisme di sana, bukan hanya petani
kecil, tapi juga masyarakat lokal,” kata Arya. Kenyataan ini diperkuat dengan
pendapat Emil Salim yang dikutip Arya. Di mana strategi pertumbuhan ekonomi di
Indonesia menciptakan ketimpangan yang luar biasa. Ada tujuh provinsi yang
mengalami ”kebocoran” setor ke Jawa. Salah satunya Papua. Apakah food estate
juga merupakan pengisapan baru ekonomi Papua ke Jawa? Di sisi lain, Witoro
mengingatkan adanya kerawanan pangan, yang sebagian besar menimpa petani dan
masyarakat pedesaan serta masyarakat perkotaan yang terpinggirkan. Bila selama ini
petani mengolah lahan dengan cara seadanya untuk memenuhi pangan mereka, kini
mereka dihadapkan pada perusahaan besar yang mengambil alih lahan mereka.
Terjadi proses peminggiran petani. Ini akan memicu peningkatan kerawanan
pangan. Menurut Joseph, masalah kemiskinan dan kerawanan pangan petani
sebenarnya soal skala usaha. Syarat mutlak peningkatan kesejahteraan petani
adalah perluasan skala usaha dan modernisasi pertanian. Petani di Jawa umumnya
berlahan sempit sehingga sulit sejahtera. Berbeda dengan Merauke. Lahan
pertanian di sana luas, tapi tak tergarap. Dengan MIFEE, pembangunan tercipta,
lapangan kerja ada dan menggerakkan ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan
rakyat. Dalam konsepnya, masyarakat di Merauke tak akan jadi penonton. Mereka
berkolaborasi menjadi petani plasma. Mereka tak menjual lahan pertanian kepada
pihak lain, tetapi menyewakan kepada para pengusaha. Akankah MIFEE mampu
menyejahterakan masyarakatnya?
Artikel ini telah
tayang di Kompas.com dengan judul "Pertanian Kian Meninggalkan Petani
Kecil", [4]
Daftar Pustaka
[1] Harwantiyoko,
Neltje F. Katuuk, MKDU Ilmu Sosial Dasar, Gunadarma, Jakarta, 1997.
Komentar
Posting Komentar